Skandal Cinta di Pohon Cherry
28 Maret 2010 12.114 views 7 Comments
Rasanya lezat, kuahnya enak, nasinya juga harum. Itulah cita-rasa sate Madura bagiku dan Eva. Kami sudah rutin, layaknya upacara sakral, untuk selalu makan sate Madura setiap malam minggu. Seperti malam ini, aku dan Eva sedang menikmati alunan kelezatan sate Madura yang enak di mulut, mengenyangkan di perut, bersahabat pula dengan dompet. Dan di warung sate Madura inilah tempat pertama kali kami bersua dan jatuh cinta pada pandangan kelima. Betulkah? Betul, betul, betul!!!“Re, tadi Neza sms, temen aku yang yang tomboy tu, tau ‘kan? Nah, dia mau minta tolong translate-kan tugas Bahasa Jepangnya ke Bahasa Inggris. Bisa, Ta?” Eva membuyarkan bentangan lamunanku, dia melahap satu tusuk sate sekaligus ke dalam mulut mungilnya.
“Oh…ya my sweatheart, bisa, bilang ja ma Neza, antar tugasnya tu besok ke kos dirimu ya,” tukasku sambil melalhap habis satu tangkai daging sate juga. Begitulah, terkadang dia memanggil namaku, terkadang pula dia memanggilku “Ta”, ujung dari kata “Cinta”.
* * *
“Ev, mana Neza-nya?” aku sudah tidak nyaman duduk di depan kos Eva, sudah 4 jam kami menunggu.
“Bentar lagi Ta, sabar ya, Cinta.” Bujuknya sambil membelai kepalaku lembut. “Nah, itu Nezanya datang,” katanya lagi. “Kok lama kali sich, Nez?”
“Aduwh Ev, tadi ada urusan, makanya telat. Maaf ya!” Neza memelas.
Eva sering cerita tentang Neza, tapi aku belum pernah ketemu dengannya. Inilah kali pertama aku bertemu Neza. Dalam dongkol, kulirikkan mataku ke arah Neza. Dia memiliki rambut lurus sebahu, diikat seperti ekor kuda, mengenakan baju kaos kuning lengan pendek dan celana jeans biru selutut. Aku tidak percaya kalau ternyata ada gadis di bumi ini yang lebih ayu dari pacarku, tapi walaupun mataku terpana, hatiku sama sekali tidak terpesona, cintaku tetaplah untuk kekasihku, Eva.
“Ini cowok Eva ya?” tanyanya sambil mengulum senyum. Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. “Neza”, ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Aku jabat tangannya, “Rehan.” Jawabku singkat. “Oh…ya, langsung aja, yang mana tugasnya?” tanyaku to the point.
“Ini,” Neza mengulurkan tiga lembar teks berbahasa Jepang. Aku segera menggarapnya, men-translate-kannya ke Bahasa Inggris.
Tidak lama kemudian aku menyelesaikan terjemahan itu. Aku menyodorkan 2 helai kertas yang dibelai udara seperti rambut Neza yang terurai dihembus angin sepoi-sepoi.
“Makasih ya.” Tutur Neza lembut, lalu Eva mengantarnya ke gerbang kos di bawah sore yang hampir senja. Setelah itu, langit berwarna jingga mengatup kisah pada hari itu.
* * *
“Kurang ajar!!!”
Buak!!! Tanganku berdarah meninju dinding, amarahku terbakar. Kekasihku yang selama ini kuanggap setia, ternyata bersikap seperti itu di belakangku. Selama ini aku percaya saja sama dia, tapi ternyata ini balasan atas kepercayaan yang telah kuberikan padanya. Dia telah menghujamkan belati ke jantungku. Dia telah menikamku dengan sadis dari belakang. Pengkhianatannya mengubur cintaku padanya dan membangkitkan kebencian yang tak terkira. Pantas saja kadang aku merasa aneh, kenapa ada nomor hp seorang cowok yang sampai dua tiga buah di hp
Eva. Satu nama tiga nomor dengan kartu yang berbeda, pantaslah Eva memiliki banyak kartu.
Nama cowok itu Bang Andi. Ketika aku tanya siapa Bang Andi, Eva bilang kalau orang itu adalah abang angkatnya. Aku percaya saja padanya, tapi belakangan ini aku curiga. Setiap kali aku menelponnya, selalu tertulis ‘menunggu’ di hp-ku, bahkan saat kami makan sate, si Bang Andi juga kerap kali menghubungi Eva. Dan ternyata, si Bang Andi itu tidak lain tidak bukan adalah si Dika alias Andika Pratama, mantannya. Dia telah membohongiku. Dia masih berhubungan dengan mantannya di belakangku. Dia pernah berjanji padaku bahwa dia tidak akan pernah menjalin hubungan apa-apa lagi dengan mantannya, tapi sekarang… Dia mengingkari janjinya!!!
Kenapa dia tega melakukan semua ini padaku, padahal aku tidak pernah menyakitinya, aku selalu menyayanginya sepenuh hati. Pengkhianatannya bagaikan petir yang menghancurleburkan jasadku. Aku baru tahu semua itu hari ini, saat aku membuka facebook Eva. Di sana, aku menemukan pesan yang isinya mereka berdua janjian ketemuan nanti malam di kos Eva, di bawah pohon cherry di depan kos.
Begitu Eva pulang kuliah, aku menemuinya seperti biasa. Aku bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Eva bilang malam ini dia akan mengerjakan tugas kuliah, jadi tidak bisa ketemuan. Aku iyakan saja, lalu malam harinya, aku datang setengah jam lebih cepat dari waktu ketemuan yang telah mereka rencanakan. Pengintaianku tak ubahnya seperti pengintaian singa yang akan menerkam mangsa. Aku bersembunyi di balik pagar yang ditumbuhi bunga akasia yang cukup rimbun. Bulan enggan keluar dari selimut awan hitam, seakan takut melihat ledakan amarahku dan remuk redam hatiku.
Setengah jam berlalu, aku melihat Dika datang. Mereka duduk berdua, dekat, dekat sekali. Bara api amarah sontak menjalari urat-urat di sekujur tubuhku. Aku segera keluar dari persembunyian, Eva terkejut melihat kedatanganku. Tanpa banyak basa basi, aku mencengkram kerah baju Dika dan meninju wajahnya, perutnya dan menendang dadanya. Tak ayal, dia terjengkang. Eva berteriak histeris melihat kejadian itu. Belum puas dengan semua itu, aku mendaratkan bogem mentah ke mulut Dika sekuat tenaga sampai semua gigi serinya patah. Setelah itu, kupalingkan wajahku ke Eva.
“Mulai hari ini, kita PUTUS!!!” Bentakku dan berlalu meninggalkannya yang terisak-isak menangis. Aku tenggelam dalam gulita. Hatiku remuk tak bersisa. Air mataku menetes, menelusuri pipiku dan jatuh ke bumi setelah singgah ke dagu. Air mata itu adalah derai air mata terakhir untuk cinta. Persetan dengan cinta. Ternyata wanita itu pendusta. Semua wanita itu pembohong, pengkhianat!!! Aku menggerutu, mengutuk sepanjang malam.
* * *
Bulan demi bulan pun datang silih berganti. Bahkan tanpa terasa, sudah dua tahun sejak peristiwa agresi pengkhianatan cinta itu menimpaku, aku masih belum juga memiliki pacar baru. Aku hanya berjalan ditemani waktu menelusuri jalan setapak di taman belakang kampusku. Di tanganku bergelayut tas kotak dengan isi penuh buku.
Bruk!!!
Aku ditubruk dari belakang. Semua bukuku berserakan ke taman, sebagian malah nyungsep ke becekan yang digenangi air keruh.
“Kurang ajar!!!” hardikku seraya mengepal tinju. Aku akan segera mendaratkannya di wajah orang yang mengakibatkan semua ini. Tapi, berselang satu detik kemudian, jantungku berhenti berdetak, darahku membeku. Gadis itu tersenyum padaku dan meminta maaf, hatiku luluh, aku balas senyumnya dan menatap matanya. Kali ini, mataku terpana dan hatiku terpesona.
“Neza…” sapaku.
“Rehan…” balasnya sambil menatapku dengan senyum menggoda, betapa manisnya dia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar